Laporan Penelitian DPD 2011
Tentang "STRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DPRD";
Kata Pengantar
Nagari jelas menghadapi tantangan besar di masa depan. Tidak hanya masalah dukungan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten semata, melainkan bagaimana nagari dapat mampu mengelola otonomi sebagai basis utama otonomi daerah yang bertumpu di kabupaten. Fakta dilapangan menunjukkan bagaimana banyak nagari yang belum siap mengatur dirinya sendiri dan terlepas dari dominasi kehendak struktur administrasi di atasnya.
Belum lagi tantangan terbesar adalah kerelaan pemerintah kabupaten/kota memberikan “ruang” kepada nagari untuk mengelola daerahnya sendiri agar lebih mapan. Rumitnya pemerintah kabupaten/kota yang merupakan pemegang tunggal titik berat otonomi daerah ternyata masih setengah hati memberikan kesempatan kepada nagari untuk berdaya secara maksimal.
Kesalahan dalam mengelola nagari, dalam konteks ini masyarakat hukum adat, telah menyebabkan timbulnya pandangan sebelah mata terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dan segala hal terkait dengannya. Hal itu, sesungguhnya telah jauh hari terjadi pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Pemerintah Belanda telah memulai memahami bahwa pendekatan yang mereka lakukan kepada masyarakat hukum adat melalui jalur yang salah. Misalnya terdapat penyamarataan makna hukum adat dan hukum agama.1
Kesalahpahaman dalam pendekatan makna tersebut menjadi meluas hingga kepada
pemahaman terhadap nagari sebagai ranah tumbuhnya kepahaman adat dan agama masyarakat. Kondisi yang sama saat ini juga dilakukan oleh pemerintahan Indonesia. Misalnya, ketika pemerintahan nagari harus disamakan dengan pemerintahan desa, padahal kedua tingkatan pemerintahan tersebut memiliki semangat yang berbeda dalam menjalankan pemerintahan. Setidak-tidaknya semangat perbedaan tersebut diwakilkan dengan kebijakan dalam pelaksanaan pemerintahan.